Sabtu, 31 Desember 2022

Reaksi Kimia Dibalik Lezatnya Martabak


Kamu tahu martabak? Cemilan berat yang biasanya dijual mulai sore hingga malam hari itu, punya kulit luar yang gurih dan wangi, dengan tampilan mengkilap kecoklatan yang menggiurkan. Bagian dalamnya empuk dan manis dengan lelehan mentega atau margarin yang disertai tetesan kental manis, lelehan coklat, limpahan keju dan taburan kacang tanah. Lalu semuanya berpadu dengan pas dalam satu gigitan. Mmhh terbayang kan gimana lezatnya?

 

Saking populernya makanan ini sampai-sampai ada yang menyebut martabak manis jenis ini sebagai The King of Indonesian Street Food alias rajanya jajanan khas Indonesa. Walaupun di beberapa negara lain juga ada martabak, tapi martabak manis di negara lain bisa berbeda dalam bentuk dan rasanya. Seperti di timur tengah bentuknya beda banget sama martabak manis Indonesia.

 

Jadi apa yang membuat rasa martabak itu enak? Jawaban pendeknya sih tergantung belinya di mana ya. Ada yang enak banget, enak, biasa aja tapi ada juga yang nggak banget rasanya. Tapi, jawabannya nggak cukup sampai di sana. Karena ada penjelasan ilmiah lho tentang kenapa martabak bisa yang selezat itu. Kalau cara buatnya benar dan bahannya sesuai, rasanya bakal lezat dan bikin ketagihan sampai satu potong aja dijamin nggak akan cukup.

 

Alasan di balik kelezatannya adalah karena reaksi kimia. Ya, kamu nggak salah baca. Martabak itu bisa enak akibat adanya reaksi kimia selama proses pembuatannya. Ada beberapa reaksi yang terjadi, mulai saat pembuatan adonan hingga pematangannya. Yuk kita bahas satu-satu!

 

Tahap pertama dalam pembuatan martabak adalah mencampur terigu dengan telur dan air, lalu diaduk hingga teksturnya kental dan lengket. Kalau kamu lihat di tukang martabak, biasanya mereka aduk adonan dalam ember atau wadah itu dengan heboh pakai segenap tenaga. Pengaduknya ditarik ke atas terus seolah-olah dipukulkan ke adonan lalu diaduk dengan kencang lagi dan seterusnya. Kenapa sih nggak biasa aja diaduk pelan juga larut tuh terigu?

 

Nah ini dia kunci pertamanya. Tujuannya bukan cuma melarutkan terigu tapi biar terjadi ikatan permanen antara Gliadin dan Glutenin, dua jenis protein yang ada dalam biji gandum. Ikatan keduanya itu gampang banget putus nyambung. Jadi kalau dicampur biasa aja, nggak akan terbentuk ikatan yang bertahan lama, akibatnya adonan tetap encer. Kalau dipaksa diteruskan, tekstur martabaknya akan terasa berpasir dan kering karena terigunya belum berikatan sempurna. Jadi kembali ke bentuk serbuk dan tidak bisa menyerap minyak dengan baik sehingga rasanya juga hambar. Pernah nemu martabak yang bagian kuitnya terasa hambar? Itu dia penyebabnya.  

 

Lalu, kunci ke dua adalah baking powder. Kenapa bukan pakai baking soda atau soda kue, karena kalau pakai baking soda (NaHCO3) berarti di adonan harus ada bahan yang sifatnya asam biar bisa bereaksi menghasilkan CO2 dengan reaksi seperti berikut:

 

NaHCO3 + H+ Na+ + CO2 + H2O

 

Makanya kalau buat pancake dengan baking soda, kita harus menambahkan cuka atau youghurt biar nggak bantat. Tapi kalau baking powder, di dalamnya sudah ada baking soda alias natrium karbonat tadi dan juga hidrogen (H+), bahkan ada yang jenis double acting baking powder yang bisa bereaksi di suhu rendah dan suhu tinggi. Jadi setelah didiamkan sampai mengembang, waktu dimasak atau dipanggang bisa mengembang lagi hingga memastikan adonan tadi bakal mengembang sempurna.

 

Terus hubungannya sama martabak gimana?

 

Salah satu ciri martabak yang enak itu, kalau bagian dalamnya ada pori-porinya ya kan, terus menteganya meleleh masuk mengisi pori-pori itu, juga taburan-taburan lain yang ditambahkan sesuai selera tadi, semuanya meresap masuk di pori-pori itu, menciptakan perpaduan yang lezat saat disantap.

 

Pori-pori itu terbentuk dari reaksi baking powder yang menghasilkan CO2 tadi. Saat adonan mulai dituang ke cetakan panas, rekasinya mulai terjadi. Lalu setelahnya, cetakan ditutup dan dipanaskan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi. Saat itu, karena panas dan keadaan tertutup, maka gelembung gas CO2 yang terbentuk akan naik melewati adonan martabak yang cair itu hingga ke permukaan dan menyisakan lubang-lubang kecil di tempat yang dia lewati. Kalau lubang terlalu besar berarti baking powdernya terlalu banyak atau suhunya terlalu tinggi. Kalau bantat berarti baking powdernya kurang.

 

Kunci terakhir dari kelezatan martabak adalah kulit luar martabak yang mengkilap kecoklatan dan lumayan garing dibagian pigiirannya yang lebih tipis. Kenapa bisa seperti itu? Adonan awalnya kekuningan, setelah dipanaskan, bagian dalamnya juga kekuningan dan empuk, tapi kenapa bagian luar yang terkena cetakan langsung berubah jadi kecoklatan dan sedikit mengeras?

 

Inilah yang disebut dengan browning reaction. Sebuah reaksi kimia yang juga disebut sebagai reaksi Maillard. Diambil dari nama ilmuwan Perancis, Louis-Camille Maillard (1878-1936), yang meneliti mengenai reaksi antara asam amino dengan molekul gula pereduksi. Reksi ini kemudian diteliti lebih lanjut oleh John Edward Hodge (1914-1996) yang membuat tulisan keren di tahun 1953 dengan julul “Chemistry of browning reaction in model system”.

 

Mari sedikit bercerita tentang reaksi Maillard. Kamu suka makanan yang sedikit gosong? Sedikit aja ya, dan harus pas karena kalau gosong jadinya pahit kan. Kerupuk yang agak gosong rasanya lebih enak dari kerupuk lain. Kue yang sedikit gosong juga lebih terasa lebih menggoyang lidah dari pada kue biasa. Sate dan steak juga, kalau nggak ada bagian gosongnya jadi hambar kan? Atau sederhananya, makanan yang digoreng dan dibakar atau dipanggang lebih enak dari makanan yang direbus atau dikukus. Dan reaksi Maillard lah yang bertanggung jawab atas rasa enak itu.

 

Berbeda dengan reaksi pencoklatan menggunakan enzim yang terjadi pada bahan pangan segar, reaksi maillard berlangsung saat pengolahan makanan.

Reaksi maillard menghasilkan pigmen coklat melanoidin yang dipengaruhi oleh keton pada gula dengan asam amino yang membentuk glukosilamin. Selain itu, faktor yang mempengaruhi reaksi Maillard juga termasuk suhu, konsentrasi gula, konsentrasi amino, pH dan tipe gula yang digunakan.

 

Reaksi berlangsung dengan mudah pada suhu 100-150 derajat Celcius yang menjadi suhu pemanasan saat memasak. Namun, reaksi maillard bisa menghasilkan akrilamida yang akan meningkat tajam ketika dipanaskan pada suhu 185 derajat Celcius. Saat ini WHO telah mendaftarkan akrilamida sebagai senyawa yang mungkin bersifat karsinogenik. Jadi masak martabaknya jangan sampai gosong ya.

 

Terus apa hubungan makanan enak dengan reaksi Maillard? Pada suhu 100-1500C, ikatan-ikatan dalam molekul terputus dan terjadi reaksi antara protein dan gula. Ketika molekul sufur dari protein mulai lepas dan bergabung dengan molekul lainnya, maka akan terbentuk molekul baru yang mengandung C, H, O, dan S. Molekul inilah yang membawa aroma wangi makanan itu dan sekaligus menandakan bahwa reaksi Maillard telah terjadi. Jadi nggak heran kan kenapa martabak yang baru matang itu wanginya menggugah selera banget. Dan karena aroma makanan itu berkontribusi besar menentukan enak tidaknya makanan, maka perpaduan rasa manis, gurih dan aroma khas martabak sebagai hasil dari rangkaian reaksi kimia tadi, membuat martabak sebagai salah satu jajanan terlezat, walaupun bikin ngerasa bersalah kalau makannya kebanyakan apalagi malam-malam, iya nggak?

 

 

1 Januari 2023

~YN~

 

Continue reading Reaksi Kimia Dibalik Lezatnya Martabak

Senin, 02 Desember 2019

STERILISASI

Kali ini, kita mau bahas tentang hal penting dalam pekerjaan di laboratorium mikrobiologi yang bisa dibilang sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pekerjaan kita. Apakah itu...? yup, dia adalah STERILISASI. Apa sih sterilisasi? 

Sterilisasi merupakan proses destruksi atau penghilangan mikroba yang hidup. Obyek yeng terbebas dari kehidupan mikroba disebut steril. Sterilisasi merupakan salah satu cara untuk mengontrol mikroba, sedang cara yang lain adalah dengan menghambat pertumbuhan mikroba. Namun sterilisasi berbeda dengan cara yang kedua, dalam hal, bahwa pada sterilisasi seluruh mikroba yang ada dimatikan atau dihilangkan dan obyek menjadi steril. 
Metode yang umum digunakan untuk mengontrol pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan adalah dengan melibatkan agen kimia dan fisika. Kedua agen tersebut dapat mempengaruhi struktur dan fungsi mikroba. Bagian sel dari mikroba yang dapat rusak dan mengakibatkan malfungsi diantaranya adalah dinding sel, membrane sel, sitoplasma, enzim, dan asam nukleat. Kondisi dimana mikroba dapat mati secara langsung akibat perlakuan tersebut disebut efek mikrobisidal. Sedangkan efek mikrobisatik adalah kondisi dimana kapasitas reproduktif sel dihambat dan jumlah populasi mikroba diijaga konstan.
Metode sterilisasi dipilih berdasarkan bahan atau material yang akan digunakan, jenis mikroba yang terlibat, dan tujuan dari sterilisasi itu sendiri (Gunasekaran, 2005). Tujuan utama sterilisasi adalah:
1.      Untuk mencegah infeksi pada manusia, hewan piaraan dan tumbuhan
2.      Untuk mencegah kerusakan pada makanan dan komoditas lainnya
3.     Untuk mencegah kontaminasi terhadap mikroorganisme yang digunakan dalam industri
4.    Untuk mencegah kontaminasi bahan-bahan yang dipakai dalam pengerjaan biakan murni di laboratorium (diagnosis, penelitian, industri).

1.      TEKNIK-TEKNIK STERILISASI
Secara umum, mekanisme yang digunakan untuk mematikan dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme adalah sebagai berikut:
a.       Destruksi oleh panas (alat pendidih, oven, tanur), zat kimia (desinfektan), radiasi (sinar x, UV) dan cara mekanis (vibrasi ultrasonic)
b.      Penyingkiran oleh penyaringan dan sentyrifugasi kecepatan tinggi
c.       Penghambatan oleh suhu rendah (pendinginan, es kering), pengeringan, kombinasi pendinginan dan pengeringan (liofilisasi), tekanan osmosis (seperti pada sirup dan asinan sayur) dan bahan kimia (eosin, metilen blue, kristal violet, desokhsikolat) & obat seperti sulfonamida dan antibiotik

Teknik-teknik sterilisasi, antara lain adalah:
a.      Sterilisasi secara mekanik (filtrasi)

Syringe filter
Untuk liquid yang sensitif dengan panas, misalnya vitamin, antibiotik, metoda sterilisasi yang digunakan adalah filtrasi. Proses ini ditujukan untuk sterilisasi bahan yang peka panas, yang akibat pemanasan tinggi atau tekanan tinggi akan mengalami perubahan atau penguraian misalnya larutan enzim dan antibiotik. Pada cara ini mikroba tidak dimatikan tetapi dihilangkan. Liquid yang akan disterilkan dilewatkan pada filter yang pori-porinya sangat kecil sehingga tidak bisa lewat. Sistem kerja filter, seperti pada saringan lain adalah melakukan seleksi terhadap partikel-partikel yang lewat (dalam hal ini adalah mikroba).
Filter yang digunakan untuk sterilisasi ada beberapa macam, tetapi yang paling sering digunakan adalah filter membran. Filter membran adalah material yang sangat tipis terbuat dari selulosa asetat atau polikarbonat dengan ukuran pori-pori yang bervariasi. Sebelum sterilisasi, filter membran dan peralatannya disterilkan terlebih dahulu (biasanya menggunakan autoklaf) atau pakai filter sekali pakai yang memang sudah steril. Sterilisasi secara mekanik menggunakan suatu saringan yang berpori sangat kecil (0,22 mikron atau 0,45 mikron) sehingga mikroba tertahan pada saringan tersebut. Ukuran pori-pori filter yang biasanya digunakan adalah 0,4 µm.
Penyaringan dilakukan dengan mengalirkan gas atau cairan melalui suatu bahan penyaring yang memilki pori-pori cukup kecil untuk menahan mikroorganisme dengan ukuran tertentu. Saringan akan tercemar sedangkan cairan atau gas yang melaluinya akan steril. Saringan yang umum dipakai tidak dapat menahan virus. Oleh karena itu, setelah proses penyaringan medium masih harus dipanaskan dalam autoklaf. Penyaringan dilakukan untuk mensterilkan substansi yang peka tehadap panas seperti serum, enzim, toksin kuman, ekstrak sel dan lain-lain.
 Sterilisasi dengan metode filtrasi tidak dapat membunuh mikroba, hanya memisahkan berdasarkan ukuran. Membran yang digunakan sebagai filter memiliki ukuran pori-pori sebesar 0,2-0,45 mikrometer. Filter ini digunakan untuk memisahkan partikel atau mikroba dari larutan yang tidak bisa disterilisasi dengan autoklaf. Selain itu, filtrasi juga dapat digunakan untuk memisahkan toksin dari filtrat kultur, menghitung bakteri, dan menjernihkan media cair. Proses filtrasi dapat dibantu menggunakan pompa vakum.
Kelebihan dari membran filter adalah porositasnya sudah diketahui, tidak ada cairan yang tersisa, dapat digunakan kembali setelah disterilisasi dengan autoklaf, dan cocok dengan berbagai jenis zat kimia. Akan tetapi membran filter memiliki kapasitas yang kecil dan sangat rapuh.
Selain membran, filtrasi juga dapat dilakukan dengan HEPA (High Efficiency Particle Air) filter. Filter jenis ini digunakan pada safety cabinet. HEPA filter memiliki efisiensi sebesar 99,97% dalam menyaring partikel dengan diameter >0,3 μm.

b. Sterilisasi secara fisik
Sterilisasi secara fisik dapat dilakukan dengan pemanasan, getaran, radiasi, filtrasi & penyinaran dengan sinar matahari.
1. Pemanasan
Sterilisasi dengan menggunakan panas paling tepat diterapkan pada alat yang tahan terhadap panas akan tetapi alat atau bahan yang sensitif terhadap kelembaban dapat disterilisasi dengan metode panas kering pada suhu 160 – 1800C. Sedangkan alat yang tahan terhadap kelembaban yang rendah dapat disterilisasi pada suhu 121–1340C.
Keuntungan dari sterilisasi dengan panas adalah menginaktivasi mikroba yang pertumbuhannya bergantung pada suhu, waktu dan ketersediaan air. Berikut ini adalah metode sterilisasi dengan menggunakan pemanasan:
  • Pemijaran (dengan api langsung): membakar alat pada api secara langsung, contoh alat : jarum ose, pinset, batang L, dll.

Cara yang paling sederhana untuk sterilisasi panas adalah dengan api langsung, yaitu dengan membakar obyek yang akan disterilkan pada nyala api. Cara ini dapat mencegah adanya kontaminasi mikroba dari udara pada saat pemindahan kultur karena panas dan gas yang ditimbulkan oleh api Bunsen dapat membunuh mikroba pada permukaan alat sehingga tidak bisa masuk ke dalam alat dan mencegah kontaminasi. Nyala api dengan suhu tinggi ini akan membunuh seluruh mikroba yang ada pada obyek. Metode api langsung ini biasanya digunakan untuk sterilisasi ose, forceps, mulut tabung reaksi saat memindahkan kultur secara aseptis (Wheelis, 2008). Metode api langsung biasanya dikombinasikan dengan penggunaan cairan alkohol 70% sebagai larutan pembilas.
  • Panas kering: sterilisasi dengan oven kira-kira 60-1800C. Sterilisasi panas kering cocok untuk alat yang terbuat dari kaca misalnya Erlenmeyer, tabung reaksi dll.

Panas kering ini biasanya digunakan untuk sterilisasi pipet, tabung reaksi, Erlenmeyer, gelas piala dan instrumen kedokteran (untuk operasi). Suhu yang digunakan untuk sterilisasi panas kering adalah 160 0C selama 90 menit sampai 3 jam (Gunasekaran, 2005). Obyek yang akan disterilkan ditempatkan pada oven udara panas dan dibakar sampai seluruh mikroba terbunuh. Panas kering dapat membunuh mikroba karena terjadi oksidasi struktur sel dan makromolekul. Panas kering tidak dapat digunakan untuk sterilisasi cairan (seperti media cair) karena kebanyakan cairan akan mendidih pada suhu 100oC, dan selama mendidih temperaturnya tidak akan naik. Pendidihan belum tentu dapat mensterilkan obyek, karena beberapa spora bakteri tetap bertahan dengan pendidihan selama berjam-jam pada suhu 100oC.
  • Uap air panas: konsep ini mirip dengan mengukus. Bahan yang mengandung air lebih tepat menggunakan metode ini supaya tidak terjadi dehidrasi.
  • Uap air panas bertekanan : menggunakan autoklaf

Proses sterilisasi ini menggunakan uap panas dan tekanan sehingga obyek yang disterilkan dapat mencapai suhu 121oC, selama minimal 15 menit. Sterilisasi cara ini sering digunakan karena dapat membunuh beberapa spora mikroba. Berbagai jenis media yang digunakan untuk kegiatan di laboratorium mikrobiologi disterilkan dengan cara ini.



Beberapa tipe autoklaf

Autoklaf merupakan bejana yang dapat ditutup, yang diisi dengan uap panas dengan tekanan tinggi sedangkan suhu di dalamnya dapat mencapai 115 - 1250C dan tekanan uapnya berkisar antara 2-4 atm.  Alat tersebut merupakan ruang uap berdinding rangkap yang diisi dengan uap jenuh bebas udara dan dipertahankan pada suhu serta tekanan yang telah ditentukan selama periode waktu yang dikehendaki. Kondisi yang baik untuk digunakan sterilisasi pada suhu 1210C tekanan 15 psi selama minimal 15 menit. 
Sterilisasi dengan autoklaf dinilai paling efektif dibandingkan metode sterilisasi yang lain, karena uap panas di dalam autoklaf memiliki daya penetrasi yang lebih besar daripada udara kering karena dapat melembabkan spora (kelembaban sangat penting pada koagulasi protein) sehingga sterilisasi dengan autoklaf dapat membunuh bakteri, spora, dan bentuk vegetatifnya. Kondensasi uap pada permukaan benda yang dingin mampu melepaskan panas laten. Selain itu, autoklaf membutuhkan waktu yang lebih pendek daripada oven udara panas. Kekurangan dari autoklaf adalah alat dan kain pembungkusnya akan basah, udara yang terjebak dapat mengurangi efisiensi, dan membutuhkan waktu pendinginan yang lama. Media atau bahan yang tidak boleh disterilkan dengan autoklaf adalah bahan yang tidak tahan panas (serum, vitamin, antibiotik), pelarut organik, buffer dengan kandungan deterjen seperti SDS.

2. Radiasi
Radiasi pengion merupakan alternatif lain untuk sterilisasi, khususnya untuk bahan yang peka terhadap panas. Hal ini disebabkan karena kenaikan suhu yang terjadi akibat perlakuan iradiasi hanya 4oC. Selain itu radiasi pengion memiliki daya tembus yang besar. Radiasi pengion ini mampu mengionkan molekul yang diterpanya. 
Molekul air bila kena radiasi pengion ini akan mengalami radiolisis, dan dihasilkan radikal-radikal bebas, diantaranya radikal bebas hidrogen dan radikal bebas hidroksil. Senyawa radikal bebas ini sifatnya sangat reaktif dan sangat mudah bereaksi satu sama lainnya dan juga dapat mempengaruhi dan merusak molekul di dalam sel, termasuk enzim dan asam nukleat. Yang perlu diperhatikan dalam menggunakan sinar radiasi untuk tujuan sterilisasi ini adalah dosis yang digunakan harus tepat. Jika tidak, akibatnya sangat berbahaya, karena akan menyebabkan terjadinya mutasi atau resistensi terhadap radiasi. 
Kelemahan sterilisasi dengan radiasi ini adalah biaya mahal, dan butuh kehati-hatian untuk mengoperasikannya. Yang termasuk radiasi pengion adalah sinar gamma, sinar elektron, dan x-ray. Sinar ultraviolet (uv) merupakan radiasi non-pengion dan hanya efektif untuk sterilisasi permukaan dan objek transparan, seperti gelas (Boundless, 2013).
Sterilisasi secara radiasi dapat dilakukan dengan dua metode yaitu secara ionisasi dan non-ionisasi. Radiasi secara non-ionisasi memiliki daya penetrasi yang rendah sedangkan secara ionisasi memiliki energi yang tinggi dan berdaya penetrasi tinggi. Radiasi dengan metode ini tidak menimbulkan panas sehingga disebut “sterilisasi dingin”. Di negara Eropa, buah dan sayuran dikenakan proses radiasi untuk meningkatkan daya simpannya hingga 500%.
Kisaran panjang gelombang sinar UV yang digunakan untuk radiasi non-ionisasi berada pada 200-280 nm, paling efektif terletak pada 260 nm. Mikroba seperti bakteri, virus dan yeast yang terkena sinar UV akan terinaktivasi dalam hitungan detik. Metode ini disebut proses desinfeksi permukaan karena sinar UV tidak mampu membunuh spora. Kelemahan dari radiasi ini adalah waktu pakai yang terbatas dari lampu UV, sinarnya bersifat merusak terhadap kulit dan mata dan tidak mampu menembus gelas, plastik atau kertas.
Sterilisasi dengan radiasi ionisasi terdiri dari metode yaitu penyinaran elektron dan gelombang elektromagnetik. sinar elektron digunakan untuk mensterilisasi alat-alat seperti jarum suntik, sarung tangan, dan produk-produk farmasi. Sterilisasi dengan metode ini hanya berlangsung beberapa detik. Kekurangan dari metode ini adalah daya penetrasi yang rendah dan memerlukan peralatan yang rumit untuk melakukannya.
Penggunaan gelembang elektromagnetik seperti sinar gamma dalam proses sterilisasi dihasilkan dari disintegrasi nuklir isotop tertentu. Metode ini memiliki daya penetrasi yang lebih dalam dibandingkan penyinaran elektron tetapi membutuhkan waktu papar yang lebih lama. Radiasi dengan energi tinggi seperti ini mampu merusak asam nukleat dari mikroba. Dosis sebanyak 2.5 megarad mampu membunuh bakteri, jamur, virus bahkan spora. Biasanya metode ini dipakai untuk mensterilisasi alat-alat seperti petridish, jarum suntik, antibiotik, vitamin, hormon, barang-barang terbuat dari gelas atau kain. Kekurangan dari metode ini adalah proses sterilisasi tidak bisa dimatikan seperti penyinaran elektron sehingga barang dari gelas akan menjadi kecoklatan. Radiasi sinar gamma juga mampu mengubah rasa suatu bahan pangan. Alat yang dipakai sebagai indikator proses evaluasi adalah Bacillus pumilus E601.

3. Getaran (Vibrasi)
Getaran yang digunakan untuk sterilisasi adalah gelombang dari suara sonik dan ultrasonik dengan frekuensi suara > 20000 siklus/detik. Gelombang ini dapat membunuh bakteri dan beberapa virus dalam waktu paparan selama 1 jam. Gelombang suara dengan frekuensi tinggi dapat menggangggu pertumbuhan sel mikroba. Metode ini kurang efektif karena banyak jenis virus dan bakteriofage yang tidak akan terpengaruh oleh gelombang suara ini.

4. Penyinaran dengan UV
Sinar Ultra Violet juga dapat digunakan untuk proses sterilisasi, misalnya untuk membunuh mikroba yang menempel pada permukaan interior Safety Cabinet dengan disinari lampu UV. Pemanasan dengan menggunakan sinar gelombang pendek lain seperti sinar-X, sinar gamma dll.

c. Sterilisasi secara kimiawi menggunakan senyawa desinfektan.
Sterilisasi kimia adalah metode yang biasa digunakan untuk sterilisasi objek padat yang sensitif terhadap panas. Pada metode ini, mikroba dibunuh menggunakan bahan kimia yang toksik. Sedang mekanisme kematiannya sangat tergantung dari bahan kimia yang digunakan. Bahan kimia yang digunakan untuk sterilisasi harus dapat membunuh seluruh mikroba, oleh karena itu harus dibedakan dengan disinfektan ataupun antiseptik, yang biasanya digunakan untuk mengontrol mikroba tetapi tidak mensterilkan. Bahan kimia yang sering digunakan adalah etilen oksida (EtO). Etilen oksida biasanya digunakan untuk sterilisasi berbagai  material yang sensitif terhadap panas, misalnya cawan Petri, pipet, alat suntik yang terbiuat dari plastik. Bahan kimia lain yang umum digunakan adalah senyawa fenolik, cresol, heksakloropen, rekorsinol, senyawa klorin, senyawa iodin, dan sebagainya. Efisiensi dari bahan kimia ini didasarkan pada konsentrasi bahan, lama paparan, tipe mikroba yang akan dimatikan, dan kondisi lingkungan dari bahan kimia tersebut (Cappuccino dan Sherman, 1983).
Desinfektan merupakan bahan kimia yang dapat menghancurkan bakteri patogen dari permukaan suatu benda. Level dari desinfeksi bergantung pada waktu kontak, suhu, jenis dan konsentrasi dari zat aktif yang terkandung, kandungan zat organik, jenis dari mikroba. Desinfektan yang dipakai kekuatan sterilisasinya akan berkurang seiring dengan waktu penyimpanan. Desinfektan yang aman terkena kulit manusia disebut antiseptik. Desinfektan yang ideal harus memenuhi persyaratan berikut:
-            Harus memiliki spektrum aktivitas yang luas
-            Harus mampu menghancurkan mikroba dalam jangka waktu tertentu
-            Harus mampu tetap aktif walaupun terdapat bahan organik lain
-            Harus mampu kontak dengan bahan secara efektif
-            Harus tetap aktif dalam kondisi pH apapun
-            Harus bersifat stabil
-            Harus memiliki masa simpan yang panjang
-            Harus memiliki daya penetrasi yang tinggi
-            Harus bersifat tidak beracun, tidak menimbulkan alergi, tidak mengiritasi, dan  tidak menimbulkan karat pada bahan
-            Tidak memiliki bau yang menyengat
-            Efektifitas desinfektan tidak berkurang ketika dilakukan pengenceran
-            Tidak mahal dan mudah didapat
Dalam bidang desinfeksi, desinfektan ideal seperti di atas sangat sulit untuk dipenuhi.
Jenis desinfektan:
1. berdasarkan konsistensi
       - cairan (alkohol, fenol)
       - gas (uap formaldehid, etilen oksida)
2. berdasarkan aktivitas spektrum
       - level tinggi
       - level menengah
       - level rendah
3. berdasarkan mekanisme desinfeksi
            - aksi pada membran (alkohol, deterjen)
            - denaturasi dari protein seluler (alkohol, fenol)
            - oksidasi dari enzim gugus sulfhidril esensial  (hidrogen peroksida, formaldehid)
            - perusakan asam nukleat (etilen oksida, formaldehid)
Tabel 1. Lingkup aktivitas dari desinfektan

Sel vegetatif
Mycobacteria
Spora
Fungi
Virus
Contoh desinfektan
Level tinggi
+
+
+
+
+
Etil oksida, formaldehid
Level menengah
+
+
-
+
+
Fenol, halogen
Level rendah
+
-
-
+
+/-
Alkohol, bahan yang mengandung ammonia

Mekanisme kerja beberapa jenis desinfektan:
1.                   Alkohol mampu mendehidrasi sel, menghancurkan membran dan menyebabkan koagulasi protein. Alkohol konsentrasi 70% paling efektif membunuh mikroba dibandingkan alkohol murni (96%). Keunggulan alkohol adalah sifatnya yang stabil, tidak merusak material, dapat dibiodegradasi, tidak merusak kulit, dan hanya sedikit menurunkan aktivasinya apabila berinteraksi dengan protein. Contoh alkohol yang dapat digunakan sebagai desinfektan yaitu etil alkohol, isopropil alkohol, dan metil alkohol. Metil alkohol bahkan mampu membunuh spora jamur.
2.                         Aldehida mampu membunuh semua jenis mikroba termasuk sporanya. Contoh yang paling umum dari aldehida adalah formaldehid. Formaldehid atau lebih dikenal dengan formalin dapat digunakan untuk desinfeksi dan fumigasi ruangan. Formaldehid 40% dapat berfungsi sebagai desinfektan yang baik. Kekurangan dari formaldehid adalah dapat mengiritasi kulit sehingga harus dinetralisir dengan ammoniak. Selain itu formalin memiliki tingkat penetrasi yang rendah, meninggalkan residu yang tidak menguap dan aktivitas dapat menurun jika terdapat protein.
3.            Fenol dapat juga berfungsi sebagai desinfektan. Fenol mampu merusak membran sel, menyebabkan presipitasi protein, dan inaktivasi enzim. Fenol dengan konsentrasi 5% efektif untuk desinfeksi. Fenol dapat membunuh bakteri dan jamur secara efektif tetapi inaktif terhadap spora dan beberapa jenis virus. Kekurangan dari fenol yaitu bersifat toksik, korosif dan mengiritasi kullit.
4.                         Hidrogen peroksida dapat memproduksi radikal bebas hidroksil yang akan merusak DNA dari mikroba. Hidrogen peroksida 6% dapat digunakan untuk dekontaminasi alat-alat. Hidrogen peroksida 3% sebagai desinfektan kulit dan penghilang bau pada luka. Kekurangan dari hidrogen peroksida adalah mudah berubah karena cahaya dan apabila kontak dengan bahan organik yang mengandung protein akan mengalami penurunan aktivitas.
5.                         Etilen oksida digunakan untuk sterilisasi alat yang labil terhadap panas misalnya alat berbahan karet, syringe, dan petri dish sekali pakai. Kekurangan dari etilen oksida adalah bersifat racun, dapat mengiritasi mata dan kulit, mudah terbakar, dan karsinogenik.
6.                  Detergen juga dapat berfungsi sebagai desinfektan. Detergen mengandung hidrokarbon rantai panjang yang larut dalam lemak dan ion yang larut dalam air sehingga mampu merusak membran dari mikroba yang akhirnya menyebabkan lisis. Detergen aktif terhadap sel vegetatif, mycobacteria dan virus. Aktivitas dari detergen dapat berkurang karena adanya detergen anionik dan bahan organik.
                      Okay...sekian dulu pembahasan kita tentang sterilisasi, semoga bermanfaat ya...
       


Continue reading STERILISASI

Minggu, 07 November 2010

Minggu, 05 September 2010

Kamis, 02 September 2010

Modul analisis mikrobiologi

silahkan download di sini
Modul ini adalah bahan ajar mikrobiologi untuk siswa-siswi jurusan kimia analisis di SMK Bina Putera Nusantara Tasikmalaya. sebenarnya modul ini lebih pas kalau disebut sebagai kliping materi mikrobiologi dasar yang bahannya saya ambil dari berbagai sumber.
Saya bukan orang yang ahli dalam bidang ini, saya hanya seorang sarjana kimia yang kebetulan diamanahi untuk mengajar tentang analisis mikrobiologi. Jadi saya sangat mengharapkan masukan, saran, kritik atau bahkan koreksi jika ada kesalahan dalam modul yang saya susun.
Modul ini disusun bukan untuk tujuan komersial, jadi bagi yang ingin mendapatkan modul analisis mikrobiologi ini, silahkan download di sini , gratis.
Continue reading Modul analisis mikrobiologi