Sabtu, 28 November 2009
Jumat, 27 November 2009
Polimer
Istilah polimer digunakan untuk menyebutkan suatu molekul yang mempunyai berat molekul yang tinggi. Polimer dapat digolongkan dalam dua kelompok yaitu polimer rendah yang mempunyai berat molekul antara 10.000 sampai 20.000 dan polimer tinggi yang mempunyai berat molekul dari 20.000 sampai beberapa juta (Allcock et al., 2003).
Polimer dapat dibuat melalui reaksi polimerisasi monomer dengan menggunakan katalisator. Polimer yang terbentuk dapat dipisahkan dengan cara fraksinasi berdasarkan perbedaan kelarutan, kemudian berat molekul dari tiap fraksi dapat ditentukan dengan cara viskometri yang dilakukan dengan menentukan waktu alir beberapa konsentrasi larutan polimer dan pelarutnya sebagai pembanding. Bahan dasar yang digunakan untuk polimeisasi polieugenol adalah eugenol (Chairil, 1994 dalam Susilowati dkk., 2003).
Ada tiga klasifikasi utama dari industri polimer, yaitu plastik, serat dan karet (elastomer). Perbedaan dan kegunaan produk akhir dari ketiga tipe polimer ini didasarkan pada sifat mekanik khusus polimer yang disebut modulus atau dalam istilah yang lebih umum mempunyai arti kekakuan (Stevens, 2001). Penggunaan polimer, terutama plastik, sedikit demi sedikit mulai menggantikan fungsi logam. Beberapa alasan ekonomis yang biasanya digunakan adalah karena sifat plastik yang lebih ringan dan umumnya tahan terhadap korosi. Plastik juga bisa diproduksi atau diproses dengan menggunakan energi yang lebih rendah dari pada logam dan kaca. Konsumsi polimer sintesis dunia hingga tahun 2001 sebesar 70 juta metrik ton per tahun, hampir 56% di antaranya adalah plastik, 18% serat, 11% karet sintetik, sisanya adalah untuk bahan pelapis dan perekat (Stevens, 2001).
Perkembangan polimer saat ini cenderung mengarah pada pembuatan polimer yang dapat terdegradasi. Standar ASTM D-5488-94d mendefinisikan bahan yang dapat terbiodegradasi sebagai material yang mampu mengalami proses dekomposisi menjadi bentuk karbon dioksida, metana, air dan senyawa non-organik atau biomassa. Mekanisme penting dari proses ini berdasarkan pada reaksi enzimatis mikroorganisme, yang dapat diukur dengan uji standard pada waktu tertentu, untuk menentukan kemungkinan yang sebenarnya dari destruksi produk tersebut (Demicheli, 2005).
Secara umum, suatu polimer dikatakan terdegradasi jika terdapat perubahan pada sifat-sifat polimer tersebut akibat reaksi kimia yang melibatkan pemutusan ikatan di dalam rantai polimer. Degradasi polimer dapat dilakukan dengan menggunakan sinar uv, zat kimia, enzim, dan mikroorganisme. Proses degradasi yang melibatkan organisme hidup disebut biodegradasi (Iswanto, 2002).
Polimer yang dapat terbiodegradasi bisa berupa polimer alam maupun polimer sintetik. Polimer sintetik banyak dikembangkan karena mempunyai berbagai kelebihan jika dibandingkan dengan polimer alam. Polimer sintetik dapat dibuat sedemikian rupa hingga mempunyai sifat-sifat yang dikehendaki dan sumber bahan bakunya bisa bervariasi (Middleton & Tipton, 1998). Salah satu sifat ideal yang harus dimiliki polimer adalah mempunyai sifat mekanis yang sesuai dengan aplikasinya. Misalnya polimer yang akan digunakan untuk bahan pengemas harus mempunyai karakteristik seperti transparan dan sifat penghalangnya baik sehingga cocok digunakan dalam banyak hal, terutama dalam pembungkus makanan (Martino, et al., 2005).
Biodegradasi dapat dilakukan terhadap polimer yang mempunyai ikatan yang kurang stabil dalam rantainya sehingga dapat dihidrolisis, misalnya polimer tersebut mengandung gugus fungsi ester, anhidrida dan amida. Degradasi suatu polimer dapat terjadi dengan lebih cepat jika polimer tersebut mempunyai rantai yang hidrofilik, gugus ujungnya hidrofilik atau mempunyai gugus yang reaktif sehingga bisa dihidrolisis dan kristalinitasnya rendah (Middleton & Tipton, 1998).
Polimer alam maupun polimer sintetik sebenarnya dapat diserang oleh organisme hidup secara kimia atau secara mekanik. Secara kimia, polimer dapat didekomposisi di dalam pencernaan organisme tingkat tinggi maupun mikroorganisme. Namun untuk proses biodegradasi yang menggunakan mikroorganisme, ada beberapa hal yang harus diperhatikan di antaranya adalah kemampuan mikroorganisme tersebut untuk beradaptasi dengan substrat baru. Kemudian secara mekanik, biodegradasi polimer sintetik berhubungan dengan penyerangan oleh hewan-hewan mamalia dan serangga (Iswanto, 2002).
Referensi:
Allcock, H., R. Frederick, W. Lampe, J.E. Mark. 2003. Contemporary Polymer Chemistry. Third edition. Pearson Education,Inc. New Jersey.
Demicheli, M. 2005. Biodegradable Plastics Stemming from Renewable Resources. http://www.vegemat.com/en/earchives.htm, diakses tanggal 27 April 2006.
Iswanto, P., N.M. Surdia, I.M. Arcana. 2002. Biodegradasi Poli(trimetilen adipat) dengan Lumpur Aktif. Majalah Ilmiah UNSOED. No: 1 Th.XXVIII: 75 – 84.
Martino, V.P., R.A. Ruseckaite, A. Jimenez. 2005. Processing and Mechanical Characterization of Plasticized Poly (lactide acid) films for food packaging. Proceeding of the 8th Polymers for Advanced Technologies International Symposium. Budapest.
Middleton, J.C. and A.J. Tipton. 1998. Synthetic Biodegradable Polymers as Medical Devices. Medical Plastics and Biomaterials Magazine. www.bpi-sbs.com diakses tanggal 20 Juni 2006.
Stevens, M.P. 2001. Kimia Polimer. Terjemahan oleh Rd. Ir. Sopyan, M.Eng. Pradnya Paramita. Jakarta.
Susilowati, S.S., P. Iswanto, Suwandri. 2003. Polimerisasi Eugenol, Fraksionasi Polimer dan Penentuan Berat Molekul Fraksi Polimer secara Viskometri. Majalah Ilmiah UNSOED. No: 1 Th.XXIX: 81 - 88.
Continue reading Polimer
Polimer dapat dibuat melalui reaksi polimerisasi monomer dengan menggunakan katalisator. Polimer yang terbentuk dapat dipisahkan dengan cara fraksinasi berdasarkan perbedaan kelarutan, kemudian berat molekul dari tiap fraksi dapat ditentukan dengan cara viskometri yang dilakukan dengan menentukan waktu alir beberapa konsentrasi larutan polimer dan pelarutnya sebagai pembanding. Bahan dasar yang digunakan untuk polimeisasi polieugenol adalah eugenol (Chairil, 1994 dalam Susilowati dkk., 2003).
Ada tiga klasifikasi utama dari industri polimer, yaitu plastik, serat dan karet (elastomer). Perbedaan dan kegunaan produk akhir dari ketiga tipe polimer ini didasarkan pada sifat mekanik khusus polimer yang disebut modulus atau dalam istilah yang lebih umum mempunyai arti kekakuan (Stevens, 2001). Penggunaan polimer, terutama plastik, sedikit demi sedikit mulai menggantikan fungsi logam. Beberapa alasan ekonomis yang biasanya digunakan adalah karena sifat plastik yang lebih ringan dan umumnya tahan terhadap korosi. Plastik juga bisa diproduksi atau diproses dengan menggunakan energi yang lebih rendah dari pada logam dan kaca. Konsumsi polimer sintesis dunia hingga tahun 2001 sebesar 70 juta metrik ton per tahun, hampir 56% di antaranya adalah plastik, 18% serat, 11% karet sintetik, sisanya adalah untuk bahan pelapis dan perekat (Stevens, 2001).
Perkembangan polimer saat ini cenderung mengarah pada pembuatan polimer yang dapat terdegradasi. Standar ASTM D-5488-94d mendefinisikan bahan yang dapat terbiodegradasi sebagai material yang mampu mengalami proses dekomposisi menjadi bentuk karbon dioksida, metana, air dan senyawa non-organik atau biomassa. Mekanisme penting dari proses ini berdasarkan pada reaksi enzimatis mikroorganisme, yang dapat diukur dengan uji standard pada waktu tertentu, untuk menentukan kemungkinan yang sebenarnya dari destruksi produk tersebut (Demicheli, 2005).
Secara umum, suatu polimer dikatakan terdegradasi jika terdapat perubahan pada sifat-sifat polimer tersebut akibat reaksi kimia yang melibatkan pemutusan ikatan di dalam rantai polimer. Degradasi polimer dapat dilakukan dengan menggunakan sinar uv, zat kimia, enzim, dan mikroorganisme. Proses degradasi yang melibatkan organisme hidup disebut biodegradasi (Iswanto, 2002).
Polimer yang dapat terbiodegradasi bisa berupa polimer alam maupun polimer sintetik. Polimer sintetik banyak dikembangkan karena mempunyai berbagai kelebihan jika dibandingkan dengan polimer alam. Polimer sintetik dapat dibuat sedemikian rupa hingga mempunyai sifat-sifat yang dikehendaki dan sumber bahan bakunya bisa bervariasi (Middleton & Tipton, 1998). Salah satu sifat ideal yang harus dimiliki polimer adalah mempunyai sifat mekanis yang sesuai dengan aplikasinya. Misalnya polimer yang akan digunakan untuk bahan pengemas harus mempunyai karakteristik seperti transparan dan sifat penghalangnya baik sehingga cocok digunakan dalam banyak hal, terutama dalam pembungkus makanan (Martino, et al., 2005).
Biodegradasi dapat dilakukan terhadap polimer yang mempunyai ikatan yang kurang stabil dalam rantainya sehingga dapat dihidrolisis, misalnya polimer tersebut mengandung gugus fungsi ester, anhidrida dan amida. Degradasi suatu polimer dapat terjadi dengan lebih cepat jika polimer tersebut mempunyai rantai yang hidrofilik, gugus ujungnya hidrofilik atau mempunyai gugus yang reaktif sehingga bisa dihidrolisis dan kristalinitasnya rendah (Middleton & Tipton, 1998).
Polimer alam maupun polimer sintetik sebenarnya dapat diserang oleh organisme hidup secara kimia atau secara mekanik. Secara kimia, polimer dapat didekomposisi di dalam pencernaan organisme tingkat tinggi maupun mikroorganisme. Namun untuk proses biodegradasi yang menggunakan mikroorganisme, ada beberapa hal yang harus diperhatikan di antaranya adalah kemampuan mikroorganisme tersebut untuk beradaptasi dengan substrat baru. Kemudian secara mekanik, biodegradasi polimer sintetik berhubungan dengan penyerangan oleh hewan-hewan mamalia dan serangga (Iswanto, 2002).
Referensi:
Allcock, H., R. Frederick, W. Lampe, J.E. Mark. 2003. Contemporary Polymer Chemistry. Third edition. Pearson Education,Inc. New Jersey.
Demicheli, M. 2005. Biodegradable Plastics Stemming from Renewable Resources. http://www.vegemat.com/en/earchives.htm, diakses tanggal 27 April 2006.
Iswanto, P., N.M. Surdia, I.M. Arcana. 2002. Biodegradasi Poli(trimetilen adipat) dengan Lumpur Aktif. Majalah Ilmiah UNSOED. No: 1 Th.XXVIII: 75 – 84.
Martino, V.P., R.A. Ruseckaite, A. Jimenez. 2005. Processing and Mechanical Characterization of Plasticized Poly (lactide acid) films for food packaging. Proceeding of the 8th Polymers for Advanced Technologies International Symposium. Budapest.
Middleton, J.C. and A.J. Tipton. 1998. Synthetic Biodegradable Polymers as Medical Devices. Medical Plastics and Biomaterials Magazine. www.bpi-sbs.com diakses tanggal 20 Juni 2006.
Stevens, M.P. 2001. Kimia Polimer. Terjemahan oleh Rd. Ir. Sopyan, M.Eng. Pradnya Paramita. Jakarta.
Susilowati, S.S., P. Iswanto, Suwandri. 2003. Polimerisasi Eugenol, Fraksionasi Polimer dan Penentuan Berat Molekul Fraksi Polimer secara Viskometri. Majalah Ilmiah UNSOED. No: 1 Th.XXIX: 81 - 88.
Mikroskop mengungkap rahasia katalis
Katalis-katalis padat sangat banyak digunakan dalam industri kimia, dan mempercepat produksi berbagai senyawa penting. Katalis-katalis ini biasanya tersusun atas logam berukuran nano-meter atau partikel-partikel logam oksida, yang melekat pada sebuah pendukung padat dengan area permukaan yang tinggi.
Akan tetapi, katalis-katalis mengalami perubahan struktural dan kimiawi yang kompleks selama terjadinya reaksi − sehingga mengamati secara langsung katalis yang bereaksi bisa memberikan petunjuk yang bermanfaat untuk meningkatkan efisiensinya. Tetapi melakukan hal ini pada suhu dan tekanan yang umum digunakan dalam industri sejauh ini terbukti cukup sulit.
Sekarang, sebuah tim yang dipimpin oleh Frank de Groot dan Bert Weckhuysen di Universitas Utrecht di Belanda, bekerja sama dengan Lawrence Berkeley National Laboratory, US, telah mencapai hal ini dengan menggunakan sebuah ruang reaksi yang kecil. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang meneliti katalis heterogen yang sedang bekerja dalam skala-nano, kata tim tersebut.
Dalam "nanoreaktor" De Groot, reaksi terjadi antara dua jendela yang disketsa dengan ketebalan hanya 10nm. Desain ini memungkinkan sinar-X melewati reaksi dan di atas detektor, sehingga menghasilkan jepretan reaksi yang sedang berlangsung. Beberapa sinar-X diserap oleh katalis, pereaksi dan produk − energi mutlak yang diserap menunjukkan komposisi kimianya. Tim ini mampu menyelidiki permukaan-permukaan katalis sampai resolusi sekitar 40 nm.
"Ini memberikan kami peluang untuk meneliti perubahan-perubahan kimia yang terjadi dalam sebuah katalis saat sedang bereaksi, kata de Groot ke Chemistry World, sehingga menunjukkan bahwa resolusi ini cukup tinggi untuk memperhatikan masing-masing partikel katalis. "Ini berarti bisa memberikan banyak informasi bermanfaat kepada kita dalam skala-nano."
Salah satu reaksi yang diteliti tim ini adalah proses Fischer-Tropsch − dimana sebuah katalis padat dari partikel-partikel besi oksida yang melekat pada silika digunakan untuk mengonversi karbon monoksida dan hidrogen menjadi hidrokarbon cair yang bisa digunakan sebagai bahan bakar.
Tim de Groot dan Weckhuysen mereplikasi reaksi tersebut dalam nano-reaktor mereka dan menemukan bahwa selama reaksi, besi oksida mengalami beberapa transformasi. Besi oksida awal (Fe2O3) dikonversi menjadi oksida lain (Fe3O4), sebelum besi silikat (Fe2SiO4) dan besi metalik mulai terbentuk. Terakhir, besi karbida (FexCy) mulai tampak. Dengan mengkorelasikan susunan katalis di area-area berbeda dengan produk-produk organik yang sedang terbentuk, tim ini menunjukkan bahwa karbon berakumulasi dalam area yang kaya besi, dengan produk hidrokarbon terlepas dari metal menuju ke penopang silikon.
"Temuan ini menunjukkan potensi besar bagi katalis-katalis heterogen untuk dicitra secara in situ," papar Alexis Bell di Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat. "Saya membayangkan bahwa proses ini tidak terbatas pada pengamatan partikel-partikel katalis, tetapi juga bisa digunakan dalam berbagai aplikasi lain, seperti pendeteksian kadar partikulat asal-udara yang bertanggung jawab bagi pembentukan hujan asam."
Kegunaan lain yang diusulkan mencakup pemantauan perubahan-perubahan struktural pada material-material simpanan hidrogen atau meneliti distribusi nanopartikel medis dalam sel. Tim ini mengatakan perkembangan di bidang optik dan metode pencitraan akan meningkatkan resolusi teknik ini.
Ditulis oleh Soetrisno pada 17-11-2008
Disadur dari: http://www.rsc.org/chemistryworld/
Bagaimanakah singkatan nama-nama unsur di tabel periodik ditentukan ?
Walaupun beberapa simbol di tabel periodik mungkin terlihat aneh, semuanya memiliki arti apabila kita tahu sedikit latar belakang tentang unsur tersebut.. Misalnya, simbol untuk unsur merkurium, Hg, berasal dari bahasa Latin yaitu hydrargyrum, yang berarti "perak cair". Istilah modern dalam bahasa Inggrisnya ialah "quicksilver" yang berarti air raksa.
Banyak unsur lain yang telah ada sejak jaman dahulu yang namanya juga diambil dari bahasa Latin di mana singkatan/simbol nama unsur tidak ada hubungannya sama sekali dengan namanya dalam bahasa Inggris. Gas mulia adalah unsur-unsur yang relatif baru ditemukan namun cenderung mempunyai nama berkesan klasik yang diambil dari bahasa Yunani. Misalnya, xenon, yang artinya "orang asing" dan argon, yang berarti "lembam, tidak giat, atau malas", sementara nama helium diambil dari kata matahari.
Sampai saat ini 110 unsur telah diberi nama secara formal. Unsur-unsur baru yang ditemukan mempunyai nama yang ditetapkan bersama oleh International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) dan International Union of Pure and Applied Physics (IUPAP), yang memberi kesempatan kepada sang penemu untuk memberikan nama pada unsur baru yang ditemukannya. Seluruh unsur-unsur baru ini adalah sintetis (buatan manusia) dan diperlukan konfirmasi untuk setiap proses penemuan.
Sebuah catatan pendek yang diterbitkan IUPAC menjelaskan bagaimana prosedur konfirmasi itu berlangsung: Badan Kerja bersama IUPAC dan IUPAP mengkonfirmasikan penemuan sebuah unsur yang mempunyai nomor atom 110. Sesuai dengan prosedur IUPAC, sang penemu mengusulkan sebuah nama dan simbol untuk unsur tersebut. Divisi Kimia Inorganik merekomendasikan usulan ini untuk disetujui, dan Konsel IUPAC menyetujuinya pada tanggal 16 Agustus 2003 di Ottawa. Nama yang diusulkan adalah Darmstadtium dengan simbol Ds. Nama yang diusulkan untuk unsur 111, Roentgenium, simbol Rg, telah direkomendasikan untuk persetujuan oleh Divisi Kimia Inorganik IUPAC. Komentar mereka, "Usulan ini didasarkan pada kebiasaan menamakan sebuah unsur untuk menghargai ilmuwan-ilmuwan ternama". Wilhelm Conrad Roentgen menemukan x-ray di tahun 1895.
Untuk keperluan informasi, unsur-unsur yang belum ditemukan dan yang memiliki nomor atom yang lebih besar, telah diberikan ‘nama tempat’, yang sebenarnya adalah versi Latin dari nomor atom mereka. Dahulu, unsur 111 diberi mana unununium, yang berarti ’satu satu satu’ (simbol ‘Uuu’) dan unsur 112, yang masih belum diberi nama secara formal telah diberikan nama ununbium (simbol ‘Uub’) .
[Catatan editor: Nama roentgenium untuk unsur dengan nomor atom 111 (dengan simbol Rg) disetujui secara formal pada tanggal 1 November 2004.
Ditulis oleh Michael R. Topp pada 22-11-2005
Penjelasan oleh Michael R. Topp, professor kimia di University of Pennsylvania
Disadur dan diterjemahkan bebas dari Scientific American, Ask the Experts SI